Bumbu Rempah |
Jakarta, CNN Indonesia -- Memiliki kondisi alam yang melimpah ternyata masih belum diimbangi dengan pemanfaatan yang baik. Kondisi ini membuat Indonesia masih harus banyak mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga di bidang pangan, termasuk Thailand dan Malaysia, bahkan Singapura.
"Sebenarnya peluang Indonesia itu besar sekali. Namun peluang itu tertutupi dengan isu impor, padahal semua bahan baku pangan itu banyak ada di Indonesia," kata Prof Nuri Andarwulan, direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST) Institut Pertanian Bogor, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, dalam jumpa media Food Ingredient Asia di Hotel Mulia, belum lama ini.
Dikenal sebagai surga rempah, Indonesia justru tak banyak dapat keuntungan. Rempah Indonesia diekspor murah, tapi kemudian diimpor mahal.
Tidak hanya itu, Indonesia sebenarnya sudah tergolong menjadi produsen utama beberapa bahan pangan di dunia, seperti kelapa sawit, tembakau, karet, kopi, dan kakao.
"Semua bahan baku itu keluarnya primer atau mentah, begitu masuk Indonesia sudah jadi bumbu padahal bahannya ada di sini. Ini Indonesia dirugikan, karena pendapatan nilai tambah bahan tersebut yang dapat negara lain," kata Nuri.
Penambahan nilai tambah pada bahan pangan tergolong penting, karena bisa ikut meningkatkan harga jual. Misal dalam kasus cokelat. Indonesia merupakan salah satu produsen biji kakao sebagai bahan baku cokelat terbaik dan terbanyak di dunia. Namun biji kakao itu dijual mentah ke luar negeri dengan harga murah.
Setelah dijual ke luar negeri, pihak produsen cokelat kemudian mengolah biji kakao itu menjadi bubuk kakao dan olahannya termasuk cokelat yang dijual di toko-toko. Kemudian, cokelat tersebut dikirim dijual kembali di Indonesia dengan harga lebih mahal dibanding harga biji kakao, plus dengan label berasal dari negara yang sebenarnya tidak memiliki tumbuhan kakao seperti Eropa.
Indonesia bukan tidak menyadari hal ini. Beragam riset pun telah dikembangkan perguruan tinggi dan badan penelitian bekerja sama dengan industri guna menambah produksi serta nilai tambah bahan baku pangan di Indonesia. Namun, masih 10 persen dari riset penelitian perguruan tinggi di bidang pangan yang dimanfaatkan industri.
"Bahkan kurang dari sepuluh persen, amat sangat kecil. Ini karena perusahaan membangun risetnya sendiri dan ini umum terjadi di dunia. Penelitian di perguruan tinggi jadi referensi dan problem solving bagi mereka. Dan ini termasuk upaya membangun industri pangan di Indonesia," kata Nuri. (les)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar